Total Tayangan Halaman

Rabu, 14 September 2011

tugas_KSI01_Resi Mairapon S_S1KA11

Masalah Merger Alcatel - Lucent
Kamis, 13 Desember 2007 7:55 WIB
(Vibiznews –Strategic) – Pertengahan 2006 lalu, raksasa telekomunikasi asal Prancis, Alcatel, mengakuisisi Lucent Technologies senilai $13.4 miliar. Hasil dari merger ini nampak kurang baik. Namun Alcatel-Lucent berusaha untuk melakukan langkah-langkah perbaikan.

Sebelum merger, Lucent memang telah mengalami masa yang buruk. Sejak terdapat gaung dot com, mereka tidak pernah mengalami tahun yang baik dan hanya ada prospek kecil untuk menjadi lebih baik. Sementara itu, Alcatel cenderung lebih sehat. Merger antara kedua perusahaan saat itu sepertinya dapat menciptakan suatu entitas yang lebih kuat dan lebih kompetitif daripada masing-masing perusahaan. Namun, untuk merger dibutuhkan suatu visi yang jelas dan pemahaman mengenai positioning dari kedua perusahaan, persaingan, serta langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan untuk menjadikan merger tersebut kompetitif. Pemahaman yang kurang dapat menjadikan merger gagal.


Tahap selanjutnya dalam suatu merger adalah mengembangkan perencanaan dan mengimplementasikan visi. Perencanaan haruslah melalui pemahaman dari kedua pihak sehingga bisa segera melaksanakan restrukturisasi dan pemangkasan yang perlu. Menurut analisa Paul Massie, merger kedua perusahaan besar ini butuh sekitar 18-36 bulan untuk stabil, sementara persaingan semakin ketat. Kemudian jika pemangkasan terlalu lama, maka pekerja hanya akan lebih cenderung melindungi pekerjaannya saja, bukannya mensukseskan perusahaan.

Sinyal mengenai buruknya kinerja Alcatel-Lucent mulai terlihat pada awal Januari 2007 ini ketika penjualannya pada kuartal keempat menurun 16 persen. Kinerja keuangan ini menyebabkan harga saham jatuh 12 persen.


Analis memperkirakan bahwa merger Alcatel-Lucent gagal karena kalah dalam bersaing melawan competitor lainnya seperti Ericsson dan Huawei Techologies yang terus membangun pangsa pasar dalam mensupply perlengkapan jaringan untuk operator seluler. Bahkan kekuatan Alcatel dalam bisnis broadband dan fibre-optic juga melemah.

Merger antara keduanya ternyata tidak menciptakan sinergi. Pelanggan yang tidak yakin akan lini produk dari hasil merger kedua perusahaan ini, ragu untuk memesan dakam jumlah besar. Sehingga hal ini menguntungkan para pesaing mereka seperti Ericsson dan Huawei. Para pesaing mereka melancarkan strategi harga yang agresif, sehingga Alcatel Lucent seringkali terpaksa memberikan diskon yang mengorbankan labanya.

Setelah mengalami kerugian selama tiga kuartal berturut-turut, maka pada 31 Oktober mereka memulai proses restrukturisasi. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah PHK karyawan sebanyak 80,000 orang yang akan dilaksanakan pada 2009. Sejak Januari, harga saham jatuh hingga 50 persen, dan sudah ada lima orang jajaran manajemen senior yang beranjak pergi.

Manajemen Alcatel-Lucent berusaha untuk mengatasi masalah ini, dan beberapa masalah sudah mulai membaik. Russo mengungkapkan, bahwa beberapa bulan lalu terdapat beberapa teknologi dari Alcatel-Lucent yang terlambat. Ia mengakui bahwa mereka tertinggal dalam hal teknologi terbaru untuk jaringan GSM, yang paling banyak digunakan di luar AS. Teknologi ini sudah diperbarui beberapa bulan lalu dan bisnis ini semakin membaik.

Pelanggan juga kini memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai protofolio produk mereka. Kemudian pesaing seperti Ericsson yang menerapkan kebijakan harga yang agresif juga tidak mampu merebut pelanggan.

Alcatel-Lucent juga berusaha untuk merambah negara berkembang. Mereka baru-baru ini memenangkan kontrak senilai $1.1 miliar dengan dua operator ponsel Cina untuk perangkat jaringan. Kemudian bisnis fixed-telephone dan broadband, yang turut terkena imbas krisis perumahan di AS, juga sudah lebih sehat. Alcatel masih menjadi pemimpin dunia dalam digital subscriber line (DSL) untuk perangkat.

Dengan semakin rendahnya harga dan margin yang mengecil untuk perangkat telekomunikasi. Russo juga terus meningkatkan bisnis Alcatel-Lucent di service & support, dimana mereka berada di urutan kedua di belakang Ericsson. Sebuah tim dengan 20,000 teknisi yang beroperasi di 130 negara telah memenagkan kontrak untuk Alcatel-Lucent untuk membangun dan mengoperasikan jaringan fixed dan seluler di seluruh dunia.

Dengan langkah-langkah perbaikan yang konkret, Alcatel-Lucent berharap bahwa merger ini masih bisa diselamatkan.

stikom

Procter & Gamble (P&G), dan Walmart kita kenal sebagai dua perusahaan raksasa dunia di bidang barang konsumen, yang satu adalah produsen, dan lainnya adalah jaringan pengecer (chain-store) terbesar dan tersukses di seluruh dunia. Pada pertengahan dekade lalu, di antara mereka saja konon transaksinya lebih dari 3.5 Milyar US$, dan tentunya P&G adalah sang produsen dan memasok Walmart.

Untuk menjamin lancarnya bisnis bagi keduanya, masing-masing merasa perlu untuk mempunyai bagian organisasi khusus untuk memperlancar hubungan diantara keduanya. P&G mempunyai “divisi-divisi khusus” untuk Walmart: sales, marketing, warehousing, PPC, dan invoicing (A/R). Demikian pula Walmart, yang mempunyai “divisi-divisi khusus” untuk pembelian, warehousing, pembayaran, khusus produk-produk P&G. Keduanya menyadari benar betapa mereka saling tergantung satu sama lain, sehingga pengkhususan-pengkhususan memang penting dan perlu.

Namun demikian, hubungan antara keduanya tak pernah sepi dari perselisihan dan pertengkaran; soal forecast demand yang “ngawur”, soal pembayaran yang ditahan, soal harga yang dipermainkan, soal stock-out di pabrik, di gudang, di store; padahal para personil dari kedua organisasi ini dikenal sangat profesional dalam bidang mereka masing-masing.

Ini membuat para Big Boss mereka sedih - Sam Walton (Walmart) dan Boss P&G (waktu itu entah siapa), karena pembentukan divisi-divisi khusus di antara mereka untuk melayani mitra kerjanya, ternyata tidak banyak membantu menjadikan situasi lebih baik sebagaimana diharapkan, padahal mereka tahu benar bahwa para karyawan mereka telah bekerja keras untuk memajukan perusahaan mereka masing-masing.

Konon, kemudian mereka bertemu untuk mengevaluasi supply chain di dalam dan di antara Walmart - P&G, sampailah mereka pada kesepakatan bersama sebagai berikut :

Ó Sales / Marketing / Warehousing / PPC / Invoicing P&G untuk Walmart ditiadakan.
Ó Bagian Pembelian / Pembayaran (A/P) Walmart untuk P&G juga ditiadakan.
Ó Walmart memasrahkan gudang khusus P&Gnya dikelola oleh personil P&G.
Ó Walmart membayar tunai seluruh penjualan produk P&G secara “on-line” segera setelah data penjualan diterima dari setiap cash register Walmart stores.

Setelah kesepakatan diatas dilaksanakan, terjadi penghematan biaya besar-besaran pada keduanya, dan bersama hilangnya biaya, hilang pula berbagai perselisihan dan pertengkaran diantara sesama mitra kerja; serta sebagai bonusnya Walmart berhasil mengurangi secara drastis tingkat kekosongan barang P&G (out-of-stock rate), dan P&G berhasil pula meningkatkan efisiensi produksinya dan menjaga stabilitas harga jual mereka sepanjang tahun, terkenal sebagai kebijakan EDLP (Every Day Low Price). Hebat bukan?

Sebagai konsultan saya yakin, bahwa kisah luar-biasa ini akan memberikan inspirasi bagi para pelaku bisnis di Indonesia, untuk mereformasi cara mereka berbisnis dengan menerapkan “jargon” atau kiat baru: “Supply Chain Management “. Begitu yakinnya penulis, sehingga kisah ini sampai ikut terbawa mimpi.

Dalam mimpi: Saya dibawa oleh “sang mimpi” ke Pusat Elektronik Mangga Dua, konon mau belanja sambil memasyarakatkan gagasan Supply Chain Management yang baru saya tulis. Dalam mimpi, saya berjumpa dengan Engkoh Akong, seorang pemilik toko video game, dan sambil menanyakan berbagai merek dan tipe electronic game yang sedang saya cari untuk hadiah ulang tahun anak saya.

Saya sangat terkesan pada Engkoh Akong, karena setiap saya menyebut suatu merek video game tertentu, bahkan kadang-kadang belum komplit menyebutnya, Engkoh Akong sudah menangkap apa mau saya, dan dia selalu bilang: “Kita ada… , harganya sekian…. Mau body warna apa dst…dst”. Pendek kata, tidak ada dalam “kamus” engkoh Akong kata “tidak ada”, paling-paling “lagi kosong tuh…” , atau “model itu sudah kagak keluar lagi”.

Karena tidak mau kalah dengan kehebatan engkoh Akong, saya tunjukkan tulisan selembar mengenai business modern SCM “Walmart – P&G” yang baru saya tulis ke Engkoh Akong. Setelah membaca, dengan rendah hati Engkoh Akong berkomentar: “Wah kalau soal teori begini owe (saya) memang sudah ketinggalan, yah bisanya owe cuman jaga toko saja. Tapi soal itu setok barang jangan sampe kosong, soal musti cepet tunjukin barang yang dimaui pembeli, soal musti bayar cash sama pemilik barang dagangan begitu laku, soal ingat-ingat jaga harga jangan sampe kemahalan, itu semua kan memang mustinya begitu? Malahan seperti owe ini mana mungkin owe nyetok barang, apalagi mana kuat owe punya gudang sendiri, tapi kalo pembeli mau yah kita musti punya…. Ya toh?” Mendengar penuturan Engkoh Akong, penulis jadi terhenyak kaget, dan saking kagetnya sampai terbangun dari alam mimpi…..”

Sewaktu bangun, ternyata tulisan SCM ini masih ada di genggaman saya. Sekalipun sedikit kusut karena terbawa tidur, saya pelajari lagi apa yang saya telah tulis. Saya lalu berpikir, barangkali lebih baik saya menulis mengenai Engkoh Akong ketimbang menulis soal Walmart - P&G? Akhirnya, untuk pembaca PQM Newsletter saya memutuskan untuk menceritakan mengenai keduanya.